Senin, 17 Oktober 2016

PRE EKLAMPSIA

1. Pendahuluan
Tiga penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan (30%), eklampsia (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus pre eklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di negara maju adalah 1.3-1.6%, sedangkan di negara berkembang adalah 1.8-18%. Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5.3%. Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak memperlihatkan adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik. Preeklampsia merupakan masalah kedoteran yang serius dan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia berdampak pada ibu saat ibu hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik dan komplikasi lainnya.
Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah (BBLR) akibat persalinan prematur atau mengalami pertumbuhan janin terhambat, turut serta menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan BBLR atau mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit metobolik pada saat dewasa.

2. Pengerrtian 
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi palsenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Oedema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.

3. Penegakkan diagnosa
a) Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam pada wanita yang sebelumnya normotensi. Derajat hipertensi berdasarkan tekanan darah diastolik pada saat datang, dibagi menjadi ringan (90-99 mmHg), sedang (100-109 mmHg), dan berat (≥ 110 mmHg). Definisi hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Gunakan alat tensimeter yang sudah divalidasi. Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan duduk tenang selama 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk atau terlentang, posisi lateral kiri, kepala ditinggikan 30 derajat, posisi manset setingkat dengan jantung, dan tekanan diastolik diukur dengan mendengar bunyi korotkof V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat. Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi.

b) Proteinuria
Proteinuria ditetapkan bila eksresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik ≥ positif 1, dalam 2 kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam. Proteinuria berat adalah adanya protein dalam urine ≥ 5g/24 jam. Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Konsensus Australian Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan urine tampung 24 jam atau rasio protein banding krreatinin.

Penegakkan diagnosa pre eklampsia
Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan keadaan hipertensi berat/hipertensi urgensi (TD ≥ 160/110 mmHg) dengan proteinuria berat (≥ 5g/hr atau tes urin dipstik ≥ positif 2), atau disertai dengan keterlibatan organ lain. Kriteria lain preeklampsia berat yaitu bila ditemukan gejala dan tanda disfungsi organ seperti kejang, oedema paru, oliguria, tromositopenia, peningkatan enzim hati, nyeri perut epigastrik atau kuadran kanan atas dengan mual dan muntah, serta gejala serebal menetap (sakit kepala, pandangan kabur, penurunan visus atau kebutaan kortikal dan penurunan kesadaran).
Kriteria minimal preeklampsia:
·         TD ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
·         Eksresi protein dalam urine ≥ 300mg/24 jam atau ≥ +1 dipstik, rasio protein : kreatinin ≥ 30 mg/mmol
Kriteria preeklampsia berat (preeklampsia dengan minimal satu gejala dibawah ini)
·         TD ≥ 160/110 mmHg
·         Protein dalam urine ≥ 5g/24 jam atau ≥ +2 dipstik
·         Ada keterlibatan organ lain :
ü  Hematologi : trombositopenia (<100 .000="" hemolisis="" mikroangiopati="" o:p="" ul="">
ü  Hepar : peningkatan SGOT dan SGPT, nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas
ü  Neurologis : sakit kepala persisten. Skotoma penglihatan
ü  Janin : pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
ü  Paru : oedema paru dan gagal jantung kongestif
Ginjal : oliguria (≤500 ml/24 jam), kreatinin ≥ 1.2 mg/dL

4. Pencegahan
Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit. Faktor risiko yang dapat dinilai pada antenatal care kunjungan pertama :
·         Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
·         Kehamilan multipel
·         Penyakit yang menyertai kehamilan (hipertensi kronik, DM, penyakit ginjal kronis, sindroma antifosfolipid)
·         Indeks masa tubuh ≥ 35
·         Penyakit vaskular dan pembuluh darah
·         Usia ibu ≥ 40
·         Nulipara/kehamilan pertama pada pasangan baru/kehamilan sebelumnya telah berjarak ≥ 10 tahun
·         Tekanan darah diastolik ≥ 80 mmHg
·         Proteinuria (dipstik ≥ +1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara kuantitatif 300mg/24 jam)
Pencegahan sekunder adalah memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Tindakan yang dilakukan diantaranya :
·         Istirahat à 4 jam/hari
·         Restriksi garam à pembatasan garam untuk mencegah preeklampsia dan komplikasinya selama kehamilan tidak direkomendasikan
·         Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm, kematian janin atau neonatus dan bayi kecil masa kehamilan, sedangkan untuk pencegahan sekunder berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm < 37 minggu dan berat badan lahir < 2500 gr.
·         Pemberian kalsium dapat diberikan pada wanita yang memiliki risiko tinggi preeklampsia dan rendah asupan kalsium untuk mencegah terjadinya preeklampsia.
Pemberian vitamin c dan e dosis tinggi tidak menurunkan risiko hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia dan eklampsia, serta berat lahir bayi rendah, bayi kecil masa kehamilan atau kematian perinatal.

5. Penatalaksanaan
a. Manajemen ekspektati atau konservatif
Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan
1.     Pada ibu dengan eklampsa, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam sejak terjadinya kejang
2.     Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan janin yang belum viabel atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu
3.     Pada ibu dengan preeklampsia berat, dimana janin sudah viabel namun usia kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektatif dianjurkan, asalkan tidak terdapat kontraindikasi. Lakukan pengawasan ketat.
Pada ibu dengan preeklampsia berat, dimana usia kehamilan antara 34-37 minggu, manajemen ekspektatif boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu dan gawat janin.
b. Tatalaksana umum
Ibu hamil dengan preeklampsia harus segera dirujuk ke RS
1.   Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan sirkulasi (cairan intravena)
2. MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang).
3.   Pada kondisi dimana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilias kesehatan yang memadai.
Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator tekanan positif.

PEMBERIAN MgSO4
1.     Pemberian MgSO4 pada preeklampsia berat berguna untuk mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang
2.     Rute administrasi magnesium sulfat yang dianjurkan adalah intravena untuk mengurangi nyeri pada lokasi suntikan
3.     Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang
4.     Waktu, durasi, dosis dan rute administrasi à pedoman RCOG untuk tatalaksana preeklampsia berat merekomendasikan dosis loading MgSO4 4gram selama 5-10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 gr/jam selama 24 jam postpartum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian MgSO4. Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan saat memberikan MgSO4. Pemberian ulang 2 gr bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang.
5.     Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, pernafasan, refleks patela dan produksi urine
6.     Bila frekuensi nafas < 16x/menit, dan atau tidak didapatkan reflek patela dan atau oliguria (produksi urine < 30ml/jam) segera hentikan pemberian MgSO4. Suntikkan calsium glukonas 1 gr intravena (10 ml larutan 10%) bolus dalam 10 menit.
Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia lakukan penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2gr iv perlahan (15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg iv selama 2 menit.

PEMBERIAN ANTIHIPERTENSI
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan-sedang (tekanan darah 140-169 mmHg/90-190 mmHg) masih kontroversial. Nifedipin sebagai penghambat kanal kalsium digunakan untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15-30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan penghambat kanal kalsium dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat hipotensi relatif setelah pemberian penghambat kanal kalsium. Nikardipin merupakan penghambat kanal kalsium parenteral, yang mulai bekerja setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan darah dengan efektif dalam 20 menit (lama kerja 4-6jam). Antihipertensi diberikan pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg.

PEMBERIAN KORTIKOSTEROID
·     Pemberian kortikosteroid pada sindrom HELLP dapat memperbaiki kadar trombosit, SGOT, SGPT, LDH, tekanan darah arteri rata-rata dan produksi urin
·         Pemberian kortikosteroid post partum tidak berpengaruh pada kadar trombosit
·         Deksametason lebih cepat meningkatkan kadar trombosit dibandingkan betametason
·       Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan 28-36 minggu untuk menurunkan risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal, dengan interval waktu pemberian hingga persalinan 48 jam-7 hari.
Pemberian ulangan kortikosteroid dapat dipertimbangkan, jika kortikosteroid diberikan minimal 7 hari sebelumnya.

PEMERIKSAAN PENUNJANG TAMBAHAN
·         Hitung darah perifer lengkap (DPL)
·         Golongan darah ABO, Rh dan uji pencocokkan silang
·         Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
·         Fungsi ginjal (ureum, kreatinin serum)
·         Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
USG (terutama jika ada indikasi gawat janin/pertumbuhan janin terhambat).

REFERENSI

Wibowo Noroyono, Irwinda, Frsidiantiny, 2015, Diagnosis dan Tata laksana Pre Eklampsia, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, Kemenkes RI


WHO, 2011, WHO recommendations for Prevention and Treatment of Pre Eclampsia and Eclampsia, www.who.int/reproduvtivehealth/puublications/maternal_perinatal health/9789241548335/en/index.html